NU Dan Muhammadiyah Mengkritik Tuduhan Penistaan ​Agama Terhadap Meliana


Para eksekutif dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, organisasi Muslim terbesar di Indonesia, telah mengkritik tuduhan penistaan ​​agama terhadap Meliana seorang warga Tanjung Balai, Sumatra Utara, karena mengeluhkan volume adzan (panggilan untuk berdoa).

Kepala divisi hukum NU Robikin Emhas mengatakan bahwa mengatakan adzan terlalu keras bukan merupakan penodaan agama seperti yang didefinisikan dalam pasal 156 dan 156a KUHP.

Saya tidak melihat bagaimana mengatakan suara adzan terlalu keras, itu adalah ekspresi kebencian atau permusuhan terhadap kelompok atau agama tertentu," kata Robikin Emhas dalam sebuah pernyataan yang tertulis pada hari Selasa 21 Agustus 2018.

Dia menambahkan bahwa dirinya berharap pihak berwenang bakal segera menahan diri dari menggunakan artikel penodaan agama sebagai alat untuk menekan kebebasan berekspresi".

Sebagai Muslim, kita harus mempertimbangkan pendapat seperti itu sebagai kritik konstruktif dalam masyarakat majemuk," katanya.

Seorang Sekretaris Muhammadiyah Abdul Mu'ti setuju menyarankan bahwa studi mendalam harus dilakukan untuk meninjau artikel dan undang-undang terkait penodaan agama. Dia lebih jauh menyatakan bahwa ketentuan itu tidak jelas dan terbuka untuk interpretasi.

Selanjutnya, satu setengah tahun penjara dijatuhkan hukuman terhadap Meiliana adalah suatu hukuman yang terlalu berat, tambahnya.

Saya berasumsi bahwa kasus Meilian] mirip dengan seorang mantan gubernur Jakarta yakni Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Pak Ahok di mana keyakinan penghujatan lebih merupakan hasil dari tekanan dari massa dan bukan dari persidangan,” kata Abdul Mu'ti.

Posisi kelompok kontras dengan yang dari BAB Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara, yang mengeluarkan fatwa pada Januari tahun 2017 menyatakan pernyataan Meiliana sebagai penghujatan.

Tidak ada komentar