OTORITAS PEMERINTAHAN MENDAPATKAN KECAMAN TERLALU LEMBUT KEPADA PERUSAHAAN TEMBAKAU
OTORITAS PEMERINTAHAN MENDAPATKAN KECAMAN TERLALU LEMBUT KEPADA PERUSAHAAN TEMBAKAU
Merokok telah lama menjadi kebiasaan di Indonesia yang tidak hanya melibatkan orang dewasa tetapi juga mempengaruhi anak di bawah umur, termasuk siswa sekolah dasar, dan telah menyebabkan pembengkakan pengeluaran perawatan kesehatan untuk penyakit yang berhubungan dengan merokok. Namun, para pembuat kebijakan enggan untuk mengatasi masalah ini dan membela bisnis rokok, kata kritikus.
Keputusan Presiden Jokowi untuk tidak menambah cukai rokok pada 2019 mengkhianati agenda pembangunannya, di mana ia dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bersumpah untuk menggandakan pajak dari 2015 hingga 2019, kata ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Keputusan ini merupakan kemunduran yang mengerikan pada kebijakan cukai, Tulus mengatakan kepada wartawan dalam konferensi pers selama akhir pekan, menambahkan bahwa pendapatan dari cukai tidak sebanding dengan kerugian finansial yang disebabkan oleh merokok.
Negara telah gagal memahami [titik] cukai yang sebenarnya, kata Tulus.
Kurangnya pengendalian tembakau, katanya, merupakan kontributor utama penyakit tidak menular yang dicakup oleh Badan Kesehatan dan Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan), dengan prevalensi meningkat menjadi 1,8 persen pada 2018 dari 1,4 persen pada 2014, menurut Basic Health Survei.
Keputusan untuk menjaga cukai tidak berubah adalah ironis, katanya, karena pemerintah telah mengalokasikan 50 persen dari pendapatan cukai daerah untuk menutupi biaya yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan, yang berjalan dengan defisit sebesar Rp16,5 triliun (US $ 1,17 miliar).
Jokowi telah meningkatkan cukai rokok setiap tahun sejak mulai menjabat tetapi tidak berencana untuk melakukannya pada 2019. Naik 10,04 persen pada 2018, 10,5 persen pada 2017, 11,3 persen pada 2016, dan 8,7 persen pada 2015, menurut Statistic Indonesia ( BPS) data yang dikumpulkan oleh Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef).
Analis kebijakan publik Azas Tigor Nainggolan mengatakan pada kesempatan yang sama bahwa, pada kenyataannya, 25 persen dari klaim perawatan kesehatan yang dicakup oleh BPJS dipicu oleh kebiasaan merokok. Dia mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Inisiatif Strategis Indonesia (CISDI), yang menunjukkan bahwa penyakit jantung dan kanker paru-paru merupakan 25 persen dari klaim BPJS.
Penelitian CISDI juga menunjukkan bahwa untuk setiap Rp 150 triliun yang diperoleh pemerintah dari cukai rokok, pemerintah harus mengeluarkan Rp 600 triliun untuk merawat pasien dengan penyakit yang berhubungan dengan merokok.
Tulus mendesak pemerintah untuk menaikkan pajak cukai hingga 57 persen, karena akumulasi kenaikan sejak 2015 hanya mencapai sekitar 40 persen.
Cukai rokok menyumbang Rp 153 triliun untuk penerimaan negara pada tahun 2018, katanya, menambahkan bahwa penerimaan dapat mencapai Rp 350 triliun jika pemerintah memiliki sikap yang lebih tegas pada peraturannya.
Tulus juga menyesalkan fakta bahwa Indonesia, sebagai penghasil rokok dan tembakau utama, masih belum bergabung dengan Konvensi Kerangka Kerja Organisasi Kesehatan Dunia tentang Pengendalian Tembakau (FCTC), yang telah diratifikasi oleh 181 negara sejak 2003.
Kami memiliki harapan besar bahwa Jokowi akan meratifikasi FCTC, tetapi tidak ada yang terjadi hingga tahun kelimanya.
Anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Jalal mengatakan pemerintah harus mulai melihat melampaui pendapatan dari cukai rokok, menunjukkan bahwa penggunaan sebenarnya adalah untuk mengendalikan konsumsi rokok untuk mencegah pembengkakan klaim BPJS.
Kurangnya kontrol rokok di negara ini juga bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030, yang mencakup kesehatan dan kesejahteraan warga yang baik, tambahnya.
Pemerintah memperlakukan cukai rokok sebagai kompensasi yang berharga dan sumber pendapatan negara yang besar, tetapi saya melihatnya sebagai denda semata-mata [untuk produsen rokok] yang sulit menutupi biaya yang sebenarnya, kata Jalal di acara tersebut.
Post a Comment