Berhentilah Menggunakan Gobbledygook, Seorang Ahli Bahasa Memberi Tahu Pejabat Pemerintah


Seorang ahli bahasa di Jambi mengkritik penggunaan klise atau gobbledygook yang merajalela di antara para pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga politik, dengan mengatakan bahwa penggunaan itu berasal dari buta huruf.

Gobbledygook tidak masuk akal dan kadang-kadang tidak memiliki akar dalam bahasa lokal, kata Natal P. Sitanggang, ahli bahasa dari Badan Bahasa Jambi, pada hari Jumat, 1 Febuari 2019.

Banyak orang menggunakan kata-kata yang mendorong orang untuk melarikan diri dari kenyataan, katanya.

Natal P. Sitanggang mengatakan ini berasal dari buta huruf baik pengguna bahasa dan pendengar yang percaya penggunaan bahasa tersebut normal.

Dia berbagi contoh penggunaan frase "budaya adi luhung", yang berakar pada bahasa Jawa kuno. Ungkapan tersebut dapat diterjemahkan secara longgar ke "budaya tingkat tinggi". Dia mengamati bahwa para pejabat sering menggunakan frasa tersebut di acara-acara publik dan menggunakannya secara tidak benar.

Jika para pejabat konsisten dengan jargon budaya tinggi mereka sendiri, mereka seharusnya menggunakan bahasa elit Jambi sendiri yang disebut "seloko", alih-alih menggunakan bahasa sehari-hari.

Beberapa pejabat Indonesia diketahui menyampaikan pidato panjang dengan jargon, terkadang diambil dari bahasa asing. Beberapa contoh adalah "diambil" dan "harmonisasi" untuk menggambarkan koordinasi antara berbagai lembaga dan "sosialisasi" untuk distribusi informasi.

Gobbledygook bukanlah komunikasi yang efektif, lanjutnya, tetapi masyarakat tidak menyadarinya.

Dia juga menyesalkan fakta bahwa para pejabat Jambi telah memanfaatkan buku gobbledy asing tanpa benar-benar tahu artinya, sambil meninggalkan bahasa lokal.

Tidak ada komentar